Wihh lama tidak isi materi blog karena pikiran penuh sesak akan materi kuliah.:).Terkesan belagu yak,tapi memang benar dirasa-rasa kuliah s2 itu berat.

Okay,mungkin kita semua sudah tahu akan tragedi kekerasan 1 minggu belakangan yang terus saja tersiar melalui stasiun televisi dan media massa. Kerusuhan Tarakan, ampera, Menteng(mungkin luput dari perhatian tp berpotensi konflik SARA) sampai yang terakhir Pembakaran Masjid Ahmadiyah di Cisampea,Bogor.  Sebenarnya jika mau dirunut/ditelusuri akar masalah ini, semuanya selalu bermuara dari satu kata, “Fanatisme”/Fanatik yang dalam pengertian pribadi saya adalah sebuah sikap berlebih-lebihan akan suatu benda,ajaran atau kelompok bahkan ia cenderung tidak bisa menerima apabila sesuatu yang ia agung-agungkan ini dilecehkan atau dikurangi maknanya oleh orang lain, sakleg lah kalau orang jawa bilang. Bisa dibilang masalah di atas tidak akan muncul ‘kok kalau saja ada semacam pemikiran rasional yang dapat mementahkan fanatisme. Insiden Tarakan, misalnya; jika saja setiap suku tidak terbakar rasa amarahnya dan langsung berteriak lantang “ini demi kehormatan kelompok kita”, tentulah kerusuhan ini tidak akan terjadi. Fanatisme yang cenderung bersifat ekslusif secara perlahan juga dapat menyulut emosi seseorang untuk melakukan sesuatu yang dirasa mempunyai tujuan yang sama. Pembakaran Masjid Ahmadiyah di Cisampea terjadi karena hal ini. Konon kabarnya salah satu warga yang selama ini menganggu jemaah Ahmadiyah(thejakartaglobe,5/10) ditusuk oleh salah Jemaah Ahmadiyah karena tidak tahan dengan perlakuan menganggu yang terus-menerus menghampiri. Tak terima dengan insiden tersebut korban datang dan menggerakkan massa untuk menyerang dan membakar masjid, pertanyaan yang muncul dalam benak saya “kok ya orang yang diajak untuk membakar masjid g punya otak untuk sejenak berpikir untuk apa dia melakukan ini?(*geram,jengkel). Hampir selalu fanatisme bagi orang yang menganutnya dirasa sebagai sebuah kesukaan untuk dilakukan/dialami, apalagi ketika  mengetahui bahwa orang lain mempunyai paham yang sama. Kemudian penglihatan saya tertuju kepada bentuk fanatisme lain, kali ini boleh dibilang major in fun with fanatism (*mentang2 baru belajar P factor dari kul Marketing.Hehe) jadi fanatisme yang lebih bersifat meramaikan namun tersimpan potensi konflik di dalamnya. Suporter viking namanya (sebutan fans Persib), setiap kali membuat saya tercengang melihat kata “wasit goblog!” atau “the jak A*****!’ dalam atribut kaos dan stiker yang melekat di kendaraan warga Bandung, benarkah ini fanatisme yang dapat tersalurkan dengan baik?saya kira tidak. Inilah fenomena yang semestinya kita gugat (paling tidak saya yg pertama kali menggugat). Pernahkah terpikir ketika suatu waktu kita menonton suatu pertandingan, dan kita mendengar suporter meneriakan kata “wasit Goblog” kita serasa dibawa ke dalam suasana pertandingan gulat atau sesuatu acara yang cenderung berujung ke anarkis daripada suasana menonton keindahan permainan sepak bola?. Setidaknya nih ya, kita boleh ‘kok bersikap seperti ‘hooligans seperti di luar negeri sana (hooligans rasional ada kan!?) tapi dengan syarat, lihat dulu kondisi ekonomi kita(yang tak mungkin setiap hari kita menonton pertandingan bola sambil menenteng sebotol bir) dan lihat pula kondisi kancah persepakbolaan kita(yang berharap sepakbola menjadi sebuah bisnis dengan pengelolaan yang baik.Termasuk di dalamnya;gaji pemain yang tidak pernah tertunda ;p).

Pada akhirnya fanatisme harus dilihat dari 2 (dua) hal; 1.Apakah ia nantinya akan berefek samping merugikan orang lain dan 2. Apakah ia masih menyisakan ruang pemikiran rasional dan toleransi bagi pemikiran baru. Disinilah pada akhirnya fanatisme ditempatkan dalam sudut seimbang, sebuah kesukaan yang tidak membabi-buta.